Senin, 01 Februari 2010

sistem Akutansi perusahaan

sistem akuntansi adalah metode dan prosedur untuk mencatat dan melaporkan informasi keuangan yang disediakan bagi perusahaan atau suatu organisasi bisnis. Sistem akuntansi yang diterapkan dalam perusahaan besar sangat kompleks. Kompleksitas sistem tersebut disebabkan oleh kekhususan dari sistem yang dirancang untuk suatu organisasi bisnis sebagai akibat dari adanya perbedaan kebutuhan akan informasi oleh manajer, bentuk dan jalan transaksi laporan keuangan. Sistem akuntansi terdiri atas dokumen bukti transaksi, alat-alat pencatatan, laporan dan prosedur yang digunakan perusahaan untuk mencatat transaksi-transaksi serta melaporkan hasilnya. Operasi suatu sistem akuntansi meliputi tiga tahapan:

Harus mengenal dokumen bukti transaksi yang digunakan oleh perusahaan, baik mengenai jumlah fisik mupun jumlah rupiahnya, serta data penting lainnya yang berkaitan dengan transaksi perusahaan.
Harus mengelompokkan dan mencatat data yang tercantum dalam dokumen bukti transaksi kedalam catatan-catatan akuntansi.
Harus meringkas informasi yang tercantum dalam catatan-catatan akuntansi menjadi laporan-laporan untuk manajemen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Desain Sistem
2 Implementasi Sistem
3 Buku Besar Pembantu
4 Jurnal Khusus
5 Pustaka
6 Lihat pula
7 Pranala luar


[sunting] Desain Sistem
Sistem akuntansi harus dirancang untuk memenuhi spesifikasi informasi yang dibutuhkan oleh perusahaan, asalkan informasi tersebut tidak terlalu mahal. Dengan demikian, pertimbangan utama dalam merancang sistem akuntansi adalah keseimbangan antara manfaat dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh informasi tersebut.

Agar efektif, laporan yang disajikan oleh sistem akuntansi harus dibuat secara tepat waktu, jelas dan konsisten. Laporan yang disajikan dengan pengetahuan dan kebutuhan pemakai agar dapat digunakan sebagai pertimbangan didalam pengambilan keputusan.

Desainer (perancang) sistem harus memiliki pengetahuan untuk membedakan sistem akuntansi dan metode pemrosesan data baik pemrosesan data secara manual maupun dengan menggunakan komputerisasi. Kemampuan untuk membedakan pemrosesan transaksi secara manual dan komputer cukup penting, karena pada organisasi bisnis tertentu tidak semua transaksi dapat di proses dengan komputer dan kemampuan desainer sistem dalam mengevaluasi alternatif-alternatif yang dipertimbangkan pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar sistem akuntansi. Singkatnya, prinsip dasar yang terkandung dalam sistem akuntansi yang baik kemungkinan besar sistem yang dirancang pada perusahaan tertentu akan mengalami kesulitan ketika diterapkan.

[sunting] Implementasi Sistem
Implementasi sistem bukan hanya merupakan tanggung jawab personel yang ada pada bagian tertentu, tetapi semua personil harus bertanggung jawab terhadap pengoperasian sistem. Pengoperasian sistem harus secara hati-hati dan selalu dilakukan supervisi atas sistem tersebut sebelum dioperasikan sepenuhnya.

[sunting] Buku Besar Pembantu
Buku ini biasa juga disebut buku tambahan. Buku pembantu ini disediakan untuk rekening-rekening buku besar yang membutuhkan perincian, misalnya: piutang dagang, utang dagang dan persediaan barang dagangan. Dari buku pembantu ini dapat disusun daftar mengenai rekening yang bersangkutan pada setiap tanggal yang dikehendaki (biasanya akhir bulan atau akhir tahun).

[sunting] Jurnal Khusus
Sesuai dengan namanya, jurnal khusus adalah jurnal yang digunakan khusus untuk mencatat kelompok transaksi-transaksi yang sejenis. Pengelompokkan transaksi-transaksi yang sejenis bergantung pada aktivitas perusahaan yang bersangkutan.
Meskipun telah disediakan jurnal-jurnal khusus, perusahaan tetap membutuhkan jurnal umum yang digunakan untuk mencatat transaksi-transaksi yang tidak dapat dicatat didalam jurnal khusus, dan juga untuk keperluan membuat jurnal penyesuaian, jurnal penutupan dan koreksi pembukuan. Format dan cara pemakaian jurnal-jurnal khusus berbeda dengan jurnal umum. Perubahan tersebut dimaksudkan agar pengerjaan jurnal dan pembukuan dari jurnal ke buku besar dapat dilakukan secara lebih efisien. Berikut adalah beberapa jurnal khusus yang biasa diguankan:
Jurnal Penjualan merupakan jurnal yang khusus digunakan untuk mencatat transaksi-transaksi yang dilakukan secara kredit. Penjualan secara tunai biasanya tidak dimasukkan dalam jurnal ini karena dalam transaksi penjualan tunai terjadi penerimaan kas, sehingga penjualan tunai biasanya dicatat dalam jurnal penerimaan kas.
Jurnal Penerimaan Kas merupakan jurnal yang disediakan khusus untuk mencatat transaksi penerimaan kas. Untuk menghemat waktu pencatatan, maka jurnal ini dirancang dengan meanyediakan sejumlah kolom dan hanya total setiap rupiah yang dibukukan kedalam buku besar.
Jurnal Umum digunakan untuk mencatat penyesuaian pembukuan, penutupan pembukuan, koreksi dan transaksi-transaksi lainnya yang tidak dapat dicatat didalam jurnal khusus.

MENGUKUR REPUTASI PERUSAHAAN

Belakangan ini makin banyak perusahaan di Indonesia bergiat dalam mengelola reputasinya. Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi dengan Enron, Arthur Andersen, Merrill Lynch, General Electric dan WorldCom menjadi pemicu yang mendatangkan hikmah akan pentingnya mengelola reputasi perusahaan.

Hanya saja, ada beberapa catatan penulis menyikapi fenomena yang terjadi di lapangan. Ada kecenderungan bahwa perusahaan melihat reputasi perusahaan lebih berdasarkan persepsi internal. Akibatnya, perusahaan terjebak dalam perspektif yang menyesatkan. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk dapat mengelola reputasi dengan baik dan benar?

Dalam hal ini ada adagium yang menyatakan bahwa “You can’t manage what you can’t measure”. Dengan demikian, untuk dapat mengelola reputasi secara baik diperlukan pengukuran reputasi. Proses ini jika dilakukan secara baik akan dapat menunjukkan bagaimana reputasi perusahaan jika dibandingkan dengan reputasi pesaing. Selain itu pengukuran reputasi perusahaan juga dapat menunjukkan sektor dan stakeholder mana saja yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Secara umum hasil pengukuran ini juga berfungsi sebagai road map bagi proses pengelolaan reputasi itu sendiri.

Bisa dimaklumi bahwa untuk mengukur reputasi secara ideal tidaklah mudah dan diperlukan keahlian khusus. Wajar jika beberapa perusahaan melakukan pengukuran reputasi dengan pendekatan yang lebih sederhana. Misalnya dengan melihat media coverage untuk kemudian menerjemahkan isinya ke dalam reputation score cards. Memang opsi ini lebih baik daripada tidak ada action evaluasi sama sekali, walaupun opsi ini bukannya tanpa kelemahan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama akan tampak betapa pendekatan ini lebih fokus kepada merekam outcome dari aktivitas humas di media, sedangkan pengaruhnya terhadap khalayak sasaran luput dari pengukuran. Apalagi jika dikaitkan dengan peran aktual bagian humas yang di lapangan tidak jarang hanya berperan sebagai penyampai, sekedar gula-gula, pemadam kebakaran, atau justru kambing hitam, bukan sebagai pengambil keputusan.

Padahal mengukur reputasi tidaklah cukup sebatas menghitung kesenjangan antara apa yang disampaikan dan yang dipersepsi media telah dilakukan oleh perusahaan. Proses pengukuran reputasi seharusnya dimulai dari penentuan stakeholder kunci dari perusahaan. Stakeholder di sini bisa mencakup karyawan, pelanggan, calon pelanggan potensial, pemasok, pemegang saham, LSM, media massa, analis, DPR, ataupun pemerintah. Siapa saja stakeholder kuncinya ditentukan oleh tipe, jangkauan (lokal, nasional, regional, global), dan situasi (menjelang IPO, krisis) yang sedang dihadapi perusahaan. Masing-masing stakeholder disadari memiliki derajat kepentingan dan kebutuhan yang berbeda-beda.

Proses kedua adalah menentukan komponen pengarah (driver), entah itu berupa atribut, kualitas, perasaan, citra atau apa saja. Dalam tahap ini seringkali penelitian kualitatif berperan penting dalam menggali komponen apa saja yang menjadi pengarah. Secara umum, ada empat indikator dasar yang dapat dijadikan modal dalam menggali komponen pengarah yang menentukan seberapa kuat reputasi suatu perusahaan. Pertama, daya saing perusahaan dalam menjual produknya dengan harga premium pada kurun waktu yang tidak sebentar. Kedua, kesanggupan perusahaan dalam merekrut dan mempertahankan staf kunci yang berkualitas. Ketiga, konsistensi perusahaan dalam mendapatkan dukungan words of mouth berupa rekomendasi positif baik dari sisi pasokan maupun pemasaran. Keempat, keberpihakan publik ketika terjadi masalah, tidak saja dalam kemampuan perusahaan untuk berkelit dari media ataupun kritikan publik.

Jika komponen pengarah sudah didapatkan, maka instrumen bagi penelitian kuantitatif dapat disusun. Sekali jalan, alangkah lebih baiknya jika instrumen ini tidak hanya diarahkan untuk mengukur reputasi perusahaan itu sendiri, tetapi juga outward looking terhadap kompetitor dan industri terkait. Instrumen ini misalnya berupa kuesioner yang tentu saja harus diuji reliabilitas dan validitasnya. Hanya instrumen yang teruji dengan baik yang layak dipakai untuk mengumpulkan data. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis lebih lanjut untuk menjawab keperluan penelitian.

Seonggok hasil penelitian tidak akan berarti apa-apa jika tidak ditindaklanjuti dengan baik. Penelitian, walau bagaimanapun hanyalah satu tonggak dalam pengelolaan reputasi. Oleh sebab itu, dari hasil penelitian tersebut harus ditindaklanjuti dengan penyusunan reputational plan yang benar-benar actionable. Reputational plan yang harus memuat skala prioritas untuk membidik khalayak yang secara kritis telah disigi mempunyai dampak yang tinggi (high impact). Skala prioritas yang didukung oleh komunikasi yang proaktif dan terencana dengan baik. Mengkomunikasikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya komunitas yang disasar. Pesan yang dikemas secara memikat, baik sebagai pesan verbal, icon, maupun program yang didukung oleh outreach melalui media secara efektif.

Yang jelas, reputasi yang kuat dibangun dari tindakan operasional sehari-hari yang konsisten dengan tata nilai perusahaan, tidak cukup satu gebrakan saja. Dalam eksekusinya menjadi tanggung jawab bersama karena tidak cukup hanya dibebankan pada bagian humas atau pimpinan perusahaan semata.

THE ENTERPRENEURIAL TRAJECTORY

Banyak calon wirausaha dan wirausaha yang sudah cukup lama bergelut dalam bisnis dan ingin mengembangkan usahanya mengeluhkan kurangnya bekal dalam memahami apa yang saya sebut dengan The Entrepreneurial Trajectory. Yakni inventarisasi terhadap fase-fase strategis berwirausaha dalam kaitannya dengan networking, critical success factor, dan praktek-praktek yang lazim menghambatnya.

Mengenali peluang sudah jamak diketahui sebagai fase awal dari usaha. Fase ini ditandai dengan munculnya ide bisnis yang tidak jarang didapat berkat diskusi dan pertukaran informasi dengan pihak lain yang biasanya masuk dalam jejaring sosialnya. Agar ide ini menjadi berarti biasanya disertai hasrat pribadi yang menjadi bagian dari tujuan hidup, misalnya saja terkait dengan hobi. Jejaring sosial juga berperan besar sebagai motivator. Sebenarnya, hampir setiap orang pernah berada dalam fase ini. Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha didorong oleh beberapa kondisi baik personal maupun lingkungan yang kondusif.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung menunjukkan bahwa sekitar 55% di antaranya memiliki keluarga pengusaha (orang tua, suami, atau saudara pengusaha). Tradisi yang kuat di bidang usaha dari jejaring sosial terdekat ini menjadi confidence modalities. Tension modalities berupa kondisi yang menekan, seperti terkena PHK mengakibatkan tiadanya pilihan lain selain menjadi wirausaha. Kondisi yang terbaik adalah seseorang memang mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha (emotion modalities).

Agar tetap fokus pada peluang, ide-ide bisnis yang ada diinventarisir, disaring mana yang atraktif dan mana yang tidak. Banyak orang dapat menginvestigasi ide bisnis yang sama tetapi akan berbeda dalam melihat peluang yang ada. Terfokus dan berlama-lama pada satu ide saja merupakan kesalahan umum yang dibuat pemula. Interaksi dengan jejaring profesional yang terdiri atas jejaring personal ditambah dengan pihak-pihak yang terkait dengan bisnis memudahkan akses terhadap ketrampilan dan teknologi. Keterampilan teknis dan manajemen penting artinya untuk meningkatkan produktifitas dan penciptaan nilai tambah yang memungkinkan usaha kelas teri mempunyai hasil kelas kakap.

Agar ide bisnis terwujud dibuatlah rencana bisnis. Banyak wirausaha yang mengabaikan fase ini dan kemudian gagal. Dalam fase ini visi dan misi, arah dan tujuan, strategi pengembangan, sumber daya manusia dan sumber daya lain, kapabilitas organisasional, strategi pembiayaan dan visi tentang kesuksesan mendapatkan bentuknya. Sebuah rencana pemasaran misalnya, dapat memberikan semacam perhatian yang dibutuhkan dalam membidik orang, perusahaan, atau hal lainnya secara tepat. Rencana tersebut dapat juga menarik perhatian orang atau pihak lain, termasuk memudahkan akses terhadap dana (investor). Tidaklah mungkin membangun usaha tanpa akses ke permodalan. Untuk disebut feasible atau bankable skema pembiayaan mensyaratkan asas 5C, yang meliputi character (watak calon debitur), capacity (kemampuan), capital (permodalan), condition (kondisi), dan collateral (jaminan). Jika belum bankable, masih ada skema pembiayaan mikro yang lebih longgar syaratnya.

Akses terhadap layanan pengembangan bisnis dapat membantu mengatasi kelemahan utama dari UKM berupa ketidakjelasan pola besar dari usaha. Layanan ini berupa pelatihan, layanan konsultasi, bantuan pemasaran, informasi, pengembangan dan alih teknologi, serta promosi bisnis. Dengan demikian wirausaha mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang diinginkan konsumen pada saat ini dan mendatang, bagaimana perkembangan pola beli mereka, dan bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka. Berbekal informasi pasar yang dimiliki, dengan sumber daya yang dialokasikan sesuai rencana bisnis, pasar dapat dijangkau. Akses pasar dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan Kadin yang telah membentuk PT UKM Indonesia sebagai trading house yang akan membeli produk-produk mitra UKM yang layak jual dan memasarkannya ke mitra usaha yang menjadi jaringannya. Pemerintah juga sudah mengatur agar ritel modern seperti mal, hotel, dan restoran menyediakan 20 persen space-nya bagi UKM sehingga UKM bisa menembus pasar menengah atas. Akses terhadap pasar asing juga telah difasilitasi oleh Pusat Pelayanan dan Pengembangan UKM (SME Center) yang menawarkan kemudahan transaksi dagang antara UKM Indonesia kepada mitra bisnisnya dari negara anggota G-15. Termasuk kemitraan dengan perusahaan multinasional yang mempunyai kepentingan dalam melakukan kegiatan pengembangan masyarakat sekitar (community development). Meskipun demikian dunia tak selalu memberikan respon yang sesuai dengan yang diinginkan wirausaha. Meski itu sebuah produk superior, dunia terkadang tak memberikan tanggapan yang sesuai dengan harapan. Karenanya, dibutuhkan sejumlah uang kontan agar dapat bertahan pada masa-masa seperti itu. Fase ini dapat menjadi acuan untuk evaluasi rencana bisnis yang sudah dibuat dalam fase sebelumnya.

Keputusan untuk mengembangkan usaha dengan strategi pertumbuhan tinggi beserta segala resikonya ataukah lambat asal selamat ditentukan dalam fase ini. Sayangnya sebagian besar wirausaha memilih alternatif kedua yang membuatnya tetap tinggal kelas sebagai UKM. Memang, biasanya jumlah usahawan yang sukses melewati tahap ini relatif sedikit. Jejaring strategis yang melibatkan perusahaan lain dan institusi pendukung dalam kerangka simbiosis mutualisme akan sangat membantu mengembangkan usaha. Secara internal, mengabaikan karyawan adalah kesalahan yang sering dilakukan wirausaha dalam fase ini. Padahal dapat berbuntut pada menurunnya moral, produktivitas kerja, dan keuntungan perusahaan. Dalam jangka panjang, pematangan sistem akan jauh lebih mendukung dibandingkan bertumpu pada figur wirausaha seorang.

Strategi yang berhasil diterapkan dengan baik ditunjang oleh iklim bisnis yang mendukung memungkinkan untuk dapat memimpin pangsa pasar. Memimpin pasar ibarat duduk di kursi panas, yang mengharuskan untuk selalu waspada agar bisa mempertahankan posisi ini. Dalam pasar yang dinamika kompetisinya tinggi, mempertahankan posisi di puncak jauh lebih tinggi daripada saat menggapainya. Banyak pihak akan membidik pemimpin pasar dan berusaha menuju puncak dengan segala cara, termasuk memanfaatkan kelemahan pemimpin pasar. Di sisi yang lain, bisnis yang sudah mapan dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk ekspansi. Peluang untuk berekspansi dengan melebarkan sayap usaha harus ditindaklanjuti secara kreatif dan cermat. Diperlukan fleksibilitas dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Jika segala sesuatunya berjalan lancar, selanjutnya tinggal memetik buah dari pohon yang ditanam, dari value yang dibuat di fase sebelumnya. Hal ini bisa saja dilakukan dengan ‘keluar dari bisnis’ melalui IPO (Initial Public Offering) atau diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar. Memakai kerangka Robert Kiyosaki dalam bukunya Cashflow Quadrant, ’keluar dari bisnis’ ini berarti pindah dari kuadran B (Business owner) ke kuadran I (Investor). Fase panen ini sering terlewatkan dalam konteks kewirausahaan.

PERAN FAMILY DALAM BUSINESS

Membahas family business selalu saja menarik, karena sangat dominannya peran perusahaan keluarga ini dalam dunia bisnis. Di negara semaju AS saja, 90 persen dari 15 juta perusahaannya merupakan family business. Dan kalau Anda menganggap perusahaan keluarga adalah perusahaan kecil, Anda akan terkecoh. Bayangkan sepertiga dari 500 perusahaan yang masuk dalam daftar Majalah Fortune. Bahkan family business telah menyumbang empat puluh persen GNP AS.
Berdasarkan survei Universitas Monash, 71 persen family business di Australia dipegang oleh generasi pertama, generasi kedua memegang 20 persen dan sisanya oleh generasi berikutnya. Sedangkan dari sisi kesejahteraan, survei ini juga menunjukkan bahwa family business merupakan penopang ekonomi Australia.
Apa artinya ? Walaupun bisnis keluarga mempunyai peran yang besar sebagai penopang ekonomi di AS maupun Australia, keberlangsungan bisnis keluaraga merupakan tanda tanya besar.
Suksesi memang merupakan ’penyakit’ utama bisnis keluarga. Coba tengok survei yang dilakukan oleh Gallup : hanya 28 persen dari family business di AS yang benar-benar mempunyai perencanaan suksesi. Lainnya melakukan suksesnya lebih karena ’terpaksa’ karena tidak menemukan alternatif lain. Kenyataan lain menunjukkan hanya 7 persen family business yang mempunyai penasehat profesional.
Family Business memang selalu menarik perhatian, karena selalu saja ada fakta baru untuk dibahas. Misalnya pa perbedaan anatara Family-owned Enterprise dan Family Business ? Meskipun sama-sama dimiliki oleh keluarga, Family-owned Enterprise bisa dijalankan baik oleh anggota keluarga maupun professional, sementara Family Business dimanajemeni sebagian besar oleh anggota keluarga yang memegang posisi kunci dalam organisasi.
Ciri khas bisnis ini dibandingkan bisnis lainnya terutama terletak pada kepemimpinan dan kontrol yang akan diwariskan pada generasi berikutnya. Kepemilikan yang signifikan oleh keluarga terjadi jika keluarga tersebut memilikinya secara keseluruhan atau sebagian besar dari bisnis dan memegang peranan aktif dalam penyusunan strategi dan dalam operasional sehari-hari.
Mengapa perusahaan keluarga mempunyai peran dominan ? Karena ciri positif yang dimiliki : keterlibatan anggota keluarga, komitmen yang tinggi, dan saling ketergantungan yang tinggi pula. Dibandingkan perusahaan publik, perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda dengan perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan fluktuasi saham. Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka. Memiliki nama dan produk membuat para pemimpin bisnis keluarga lebih sadar terhadap posisi mereka dalam komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi mereka.
Di dalam banyak kasus perusahaan dan produknya sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika diasosiasikan dengan produk yang inferior atau cacat, seakan-akan merefleksikan diri mereka. Jadi sebuah keluarga kemungkinan tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan. Jika suatu keluarga memproduksi anggur, untuk beberapa generasi anggota keluarga mempunyai kebanggaan terhadap produk mereka.
Dari sisi budaya organisasi semangat keluarga menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan sementara nilai dari anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan dan membantu terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen. Dalam perusahaan keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan sebagai bagian dari keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena relatif tidak birokratif akses kepada manajemen senior lebih mudah dan pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih efektif.
Sedangkan ciri negatifnya adalah kurangnya formalitas, pemisahan yang kaburnya urusan personal dan bisnis, serta kepimimpinan ganda. Selain itu, hubungan interpersonal yang emosional tampak menonjol. Family business ini secara organisasional juga sering membingungkan. Dominasi oleh keluarga mengakibatkan alasan keluarga berada di atas perhitungan bisnis, sehingga melemahkan profesionalisme. Alasan ini pula yang menyebabkan toleransi kepada anggota keluarga yang tidak kompeten, yang dapat melemahkan sendi-sendi kompetensi perusahaan. Sistem reward yang tidak berimbang, juga mempersulit merekrut manajemen yang profesional.
Struktur family business seperti apa yang sebaiknya dipilih ? Sole Proprietorship, General Partnership, Limited Partnership, atau Corporation ? Secara baku tidak ada bentuk terbaik, karena kebutuhan setiap perusahaan bersifat khas. Sehingga untuk memilih jenis struktur yang.akan diterapkan harus disesuaikan terlebih dahulu antara sasaran bisnis dan tipe struktur bisnis. Jika bisnis yang digeluti beresiko tinggi, akan lebih penting untuk membatasi liabilitasnya. Selain itu bagaimana peluang mendapatkan modal dan derajat fleksibilitas perggantian bentuk juga perlu dipertimbangkan.

KETIKA PERUSAHAAN DITUBIR JURANG

Belakangan ini, tidak sedikit pengusaha yang mengeluhkan kodisi
perekonomian yang mengancam bagi kelangsungan usahanya. Bahkan dalam skala yang lebih luas, sinyalemen mengarah pada sandyakalaning industri (sunset industry). Orang boleh menyalahkan krisis berkepanjangan yang menimpa bangsa ini sebagai biang masalahnya, tapi mencari kambing hitam saja tidak lantas menyelesaikan masalah. Untuk itu diperlukan langkah kongkret dan terencana.

Dalam mengatasi krisis, diperlukan orientasi strategi dan perencanaan tindakan yang terarah dan mencakup aspek-aspek manajerial dan operasional secara bersamaan. Orientasi berpikirnya pun mesti dipilah berdasarkan periodenya : periode survival dan periode masa pasca survival.

Periode survival merupakan periode ‘bagaimana menyelamatkan perusahaan’ yang boleh dikatakan sebagai mission impossible. Sementara periode berikutnya, pada masa pasca survival adalah periode bagaimana pengelolaan pada masa awal pasca-krisis. Tentunya untuk melakukan refocusing terhadap rencana dan tindakan selanjutnya. Periode ini berfokus kepada pencapaian sukses jangka panjang, yaitu penyesuaian kembali strategi jangka panjang perusahaan. Tujuannya agar dalam menyiasati krisis tidak akan mengabaikan kesinambungan jangka panjang.

Krisis adalah perubahan. Karenanya, kemampuan perusahaan untuk menghadapi perubahan dan melakukan adaptasi merupakan kunci utama. Tantangan dalam menyiasati krisis adalah “kecepatan” dan “kejelian” dalam melakukan prediksi dan antisipasi. Bukankah situasi krisis tidak mentoleransi keterlambatan dan kesalahan analisa dalam bentuk apapun?

Terdapat tiga pedoman penyelamatan perusahaan yang dapat diandaikan sebagai tiga anak tangga. Anak tangga pertama berupa optimalisasi terhadap efektivitas dan efisiensi untuk memperoleh nilai biaya terendah yang paling mungkin dicapai. Semangatnya adalah zero waste, dengan asumsi bahwa setiap sumber daya adalah langka (scarce) sehingga harus dimanfaatkan semaksimal dan seefisien mungkin. Tentu saja diperlukan pengendalian sumber daya yang ekstra ketat, terutama sumber daya finansial.

Anak tangga kedua dalam penyelamatan ini membutuhkan kreativitas dan inovasi SDM dalam melakukan reformasi internal secara menyeluruh. Bukan hanya dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi, tetapi juga dalam rangka memperoleh ide-ide praktis yang dapat diimplementasikan sesegera mungkin.

Anak tangga penyelamatan ketiga meminta komitmen untuk dapat memenangkan “perang” melawan krisis dan meneruskan percaturan bisnis dalam pola kompetisi yang lebih mantap. Dibutuhkan redefinisi terhadap hal-hal strategis, seperti misalnya strategi kompetisi, kebijakan “STP” (segmentasi-targeting-positioning), maupun kemungkinan untuk melakukan suatu aliansi dengan tujuan memperoleh kekuatan baru dalam waktu yang cepat.

Dalam menapaki tangga penyelamatan ini, sumber daya manusia sebagai brainpower perusahaan memainkan peran sebagai inti kekuatan. SDM dalam masa krisis harus mau dan mampu mengeluarkan semua kemampuan intelektualitas mereka secara terpadu, dalam artian tidak menyimpang dari kebutuhan utama perusahaan dan terintegrasi dalam setiap aktivitas yang telah ditentukan. Mereka perlu dipersiapkan secara cepat dan taktis untuk menghadapi tantangan yang akan dihadapi, sekarang dan di masa mendatang.

Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa lingkaran inti (inner circle) dan lingkaran luar (outer circle) yang memberikan kontribusi baik melalui aktivitas strategis maupun operasional perusahaan harus direngkuh semuanya. Dengan demikian, manajemen level atas, menengah, lini pertama serta level operasional dapat menyelaraskan gerakan penyelamatan secara terpadu dan sistematis. Tentu saja akan lebih mudah direalisasikan jika kaderisasi SDM dan sistem pengembangannya telah terlaksana dengan baik. Sebaliknya, jika proses pengelolaan SDM belum tersistemasi dengan baik, maka dikhawatirkan terjadinya inner court syndrome. Yaitu adanya perkembangan peran para pemikir perusahaan dalam konteks yang tidak proporsional. Sindrom ini terjadi jika para pemimpin terlalu banyak merangkap tugas sebagai pelaksana, sehingga melunturkan orientasi strategis ke arah aspek-aspek operasional saja, yang justru dapat menyesatkan perusahaan.

Dalam menghadapi situasi tidak menentu dengan tingkat resiko variatif, setiap SDM, dari level manapun juga harus mampu dan mau berperan sebagai pendukung proses penyelamatan (proponent) yang telah digariskan dalam kebijakan perusahaan. Selain itu, sekaligus berperan sebagai suggestive opponent dalam memberikan masukan bagi perbaikan perusahaan.

Peran suggestive opponent tidak berarti memposisikan diri sebagai “lawan” yang ingin memenangkan kelompok sendiri atau penentang yang tidak ingin berpartisipasi dalam proses penyelamatan karena takut menerima tanggung jawab yang lebih besar. Yang diharapkan adalah pemberi masukan yang memiliki integritas diri dalam artian berani memberikan peringatan secara positif kepada perusahaan melalui sistem, struktur dan kewenangan yang berlaku, jika melihat adanya kelemahan dari keputusan perusahaan, yang diperkirakan dapat membawa dampak negatif jika terus dilaksanakan.

Nyata bahwa kondisi krisis memberikan tantangan yang tak terelakkan bagi perusahaan untuk membentuk SDM yang tough, terutama dari sisi kesiapan dan kecepatan gerak, baik dalam sudut pandang kontemporer maupun visioner. Selain itu, diperlukan pula pemantapan ketekunan demi kontinuitas usaha. Ketekunan yang dilandasi oleh kemampuan analisa yang komprehensif serta digerakkan oleh keyakinan atas peran. Bahwa menghadapi krisis tidak berarti di ambang kehancuran, tetapi berada di arena transisi yang merupakan tantangan untuk maju. Oleh karena itu, diperlukan role model positif dari para pemimpin terutama untuk mereformasi etos kerja, upaya menghidupkan dan menyebarkan visi optimis berbasis logika bisnis yang rasional. Dengan demikian anak buah mereka memiliki kesiapan mental lebih besar untuk bekerja dalam arena yang memiliki level resiko yang lebih signifikan.

Kondisi krisis menuntut peran “lebih”, terutama dari para pemimpin. Pemimpin disini tidak hanya berarti pemimpin di level manajemen atas saja, tetapi juga pemimpin-pemimpin di level departemen, divisi atau kelompok kerja. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian utama adalah speed, priority dan flexibility. Kecepatan tindakan amat penting dalam menghadapi krisis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kecepatan merupakan satu-satunya tolok ukur untuk menentukan keputusan. Kecepatan tindakan harus didahului oleh ketepatan pemilihan alternatif tindakan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, aspek kecepatan ini perlu didukung oleh kejelian dalam menentukan derajat kepentingan, kebutuhan dan tugas-tugas perusahaan untuk upaya-upaya penyelamatan. Fleksibilitas hingga derajat tertentu dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan perusahaan. Hal ini dikarenakan kondisi krisis biasanya menimbulkan beragam problem sampingan dan efek berantainya kadang tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Untuk itu, upaya untuk menentukan perencanaan dan strategi, perlu dilaksanakan dengan ketrampilan seorang “sutradara” dengan jiwa inovatifnya, terutama ketajaman analisa agar mampu menyusun alternatif-alternatif skenario penyelamatan.

Diharapkan, dengan memiliki kerangka dan sistematika rencana, strategi dan arahan yang jelas, upaya penyelamatan perusahaan tidak terhenti karena adanya hambatan-hambatan baru serta mampu memberikan lampu hijau bagi kelanjutan eksistensi dan kontribusi perusahaan di masa mendatang.

PERANAN SISTEM AUDIT DALAM MENUNJANG OPERASIONAL

Penelitian Di dalam berkembangnya dunia perekonomian saat ini dan semakin tingginya tingkat persaingan dalam dunia usaha menuntut perusahaan mempunyai keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk terus bisa berkompetisi. Tidak sedikit perusahaan yang terhenti laju operasionalnya karena tidak mampu mempertahankan eksistensi perusahaannya. Sebagian besar kegagalan tersebut biasanya disebabkan karena perusahaan tidak konsisten dalam menjalankan operasi perusahaannya, ditambah lagi dengan kurangnya tenaga profesional di dalam perusahaan dan perusahaan tidak dapat mengikuti perkembangan ekonomi yang terjadi saat ini, hal ini menuntut adanya efektivitas dan efisiensi dalam menjalankan kegiatan operasional perusahaan Keinginan untuk mendapatkan laba perusahaan yang optimal merupakan suatu niat dasar bagi manajer dalam perusahaan untuk menggerakan semua sumber daya yang ada. Agar tercapainya usaha itu fungsi manajerial seperti planning, organizing, directing dan controlling harus dipadukan agar manajemen dapat mengambil keputusan yang tepat dengan demikian akan tercapai hasil yang diharapkan. Usaha untuk mengelola sumber daya yang dimiliki agar tercapai efektivitas dan efisiensi yang tinggi merupakan akibat yang logis dari keinginan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan yang optimal bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Semakin berkembangnya perusahaan tentunya diikuti dengan semakin kompleks dan luasnya aktivitas serta permasalahan yang dihadapi sehingga mendorong timbulnya suatu bidang baru dari auditing yaitu pemeriksaan operasional (audit operasional). Pemeriksaan operasional merupakan aktivitas operasi suatu organisasi yang bertujuan untuk memeriksa efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan. Aktivitas pemeriksaan operasional akan bermanfaat banyak bagi perusahaan karena dapat menunjang kelancaran dari pelaksanaan operasi perusahaan terhadap kontinuitas perusahaan dimasa yang akan datang. Salah satu fungsi yang ada dalam perusahaan adalah fungsi penjualan, dimana penjualan merupakan salah satu kegiatan utama yang dilaksanakan dalam suatu perusahaan, sehingga perlu untuk mendapat perhatian yang cukup besar serta pengelolaan yang sebaik mungkin. Kegagalan dalam aktivitas penjualan akan sangat berpengaruh terhadap kontinuitas operasi perusahaan, karena penjualan merupakan sumber pendapatan utama perusahaan. Faktor sistem pengendalian intern yang berhubungan dengan penjualan sangat diperlukan, karena penjualan merupakan salah satu unsur harta dalam komponen laba rugi, yang posisinya sangat penting di dalam kelangsungan perusahaan. Sistem pengendalian intern atas peenjualan menjadi penting dimana tujuannya adalah mencegah penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi dalam penjualan sedangkan secara keseluruhan sistem pengendalian intern sangat diperlukan dimana tujuannya adalah untuk mengamankan harta perusahaan, meningkatkan operasi perusahaan, meningkatkan ketelitian dan kebenaran data akuntansi dan mendorong terlaksananya kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penulis dalam penelitian ini mengangkat objek penelitian yang akan diteliti dengan judul : ”PERANAN AUDIT OPERASIONAL DALAM MENUNJANG EFEKTIVITAS SISTEM PENGENDALIAN INTERN PENJUALAN.” 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka penulis mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan audit operasional pada perusahaan. 2. Bagaimana efektifitas sistem pengendalian intern penjualan dilaksanakan. 3. Seberapa besar peranan audit operasional dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian intern penjualan pada perusahaan. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan sejumlah data dan informasi yang diperlukan untuk menyusun suatu pembahasan atau masalah yang telah diidentifikasikan guna memperjelas gambaran mengenai peranan audit operasional dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern penjualan. 1.3.2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan Audit Operasional yang dilaksanakan oleh perusahaan. 2. Untuk mengetahui efektivitas sistem pengendalian intern penjualan di perusahaan. 3. Untuk mengetahui besarnya peranan Audit Operasional dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern penjualan di perusahaan. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis a. Bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini diharapkan berguna sebagai pengetahuan tambahan mengenai teori dan praktek yang sesungguhnya mengenai Audit Operasional dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern penjualan. b. Bagi Perusahaan Melalui penelitian ini penulis berharap dapat memberikan masukan dan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen dalam meningkatkan efektivitas kegiatan operasional perusahaan serta memberikan informasi kepada manajemen mengenai pengendalian yang ada sehingga dapat dijadikan bahan perbaikan atau perubahan yang dianggap perlu, khususnya mengenai penjualan. c. Bagi Pihak Lain Terutama lingkungan Perguruan Tinggi, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam melaksanakan penelitian atau karya tulis lainnya, khususnya mengenai Audit Operasional. 1.4.2 Kegunaan Teoritis Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi pembaca lainnya ataupun dapat dijadikan sebagai bahan untuk penelitian lebih lanjut sehubungan dengan masalah yang dibahas serta dapat memperluas wawasan dan memahami bidang akuntansi khususnya mengenai Audit Operasional. 1.5 Kerangka Pemikiran Dengan semakin maju dan berkembangnya suatu perusahaan akan diikuti dengan semakin kompleks aktivitas serta permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Sehingga manajemen akan menghadapi kesulitan dalam mengendalikan secara langsung, ditambah dengan adanya tuntutan efisiensi, efektivitas dan ekonomisasi dari penggunaan berbagai sumber daya yang tersedia. Hal ini menuntut manajemen untuk melakukan aktivitas operasional perusahaan secara efektif dan efisien untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan, oleh karena itu untuk mencegah atau menghindari ketidakefektivan dan ketidakefisiensian tersebut maka diperlukan alat yang dapat mengukur efektivitas dan efisiensi dari bidang-bidang funsional yang mampu menciptakan suatu peringatan dini bagi pengelolaan perusahaan yang akhirnya akan memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Di dalam perusahaan yang relatif besar, perusahaan memerlukan suatu pengawasan terhadap pelaksanaan sistem pengendalian intern penjualan. Oleh karena itu, sejauh mana pelaksanaan pengendalian intern atas penjualan yang ditetapkan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen, maka diperlukan suatu pemeriksaan atas operasional dalam pengendalian intern penjualan yang dapat membantu manajemen di dalam pengendalian operasional petusahaan. Pemeriksaan yang dimaksud adalah pemeriksaan operasional (audit operasional). Pengertian Audit Operasional berdasarkan publikasi Institute of Internal Auditors (IIA) yang dikutip oleh Amin Widjaja Tunggal (2000;4) adalah sebagai barikut : ”Operational Auditing adalah suatu proses yang sistematis dari penilaian efektivitas, efisiensi dan ekonomisasi operasi suatu organisasi yang dibawah pengendalian manajemen dan melaporkan kepada orang yang tepat hasil dari penilaian beserta rekomendasi untuk perbaikan.” Sementara itu pengertian audit operasional menurut Sukrisno Agoes (2000;175) menyatakan bahwa : ”Manajemen audit disebut juga sebagai operasional audit, function audit, system audit, adalah suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomi.” Berdasarkan uraian di atas, dijelaskan bahwa audit operasional sangat berperan dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern penjualan. Dimana keterlibatannya adalah penjualan sebagai komponen harta perusahaan sangat memerlukan pengelolaan yang baik dapat tercipta dengan penerapan suatu sistem pengendalian intern yang baik pula. Dan untuk mengukur efektivitas pengendalian intern ini, maka perusahaan perlu melaksanakan audit operasional yang mencakup semua aspek operasional pengelolaan penjualan. Definisi Efektivitas menurut Anthony Dearden dan Bedford yang dialihbahasakan oleh Agus Maulana (1994;203) adalah sebagai berikut : ”Efektivitas adalah hubungan antara keluaran (output) suatu pusat pertanggungjawaban dengan sasaran yang harus dicapainya. Semakin besar kontribusi keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian tersebut, maka dapat dikatakan semakin efektif pula unit tersebut.” Pengendalian intern yang memadai adalah yang menerapkan komponen-komponen pengendalian intern yang terdiri dari : lingkungan pengendalian, perkiraan resiko yang timbul, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi serta tindak lanjut, hingga dapat tercapainya tujuan pengendalian intern itu sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik, diperlukan suatu alat bantu. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pengendalian intern adalah komputer. Pengertian pengendalian intern menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2001;319.2) adalah sebagai berikut : ”Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas, yang didesain untuk memberikan keyakinan tentang pencapaian tiga golongan tujuan berikut ini: (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektivitas dan efisiensi operasi, (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.” Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa proses audit operasional adalah evaluasi atas pelaksanaan berbagai kegiatan operasional perusahaan. Hasil dari operasi ini berupa efektivitas yang telah dicapai perusahaan. Sedangkan sasarannya adalah membantu manajemen dalam meningkatkan kinerja dalam mencapai efektivitas, sasaran ini direkomendasikan dalam bentuk laporan yang bersifat konstruktif atau saran untuk perbaikan. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa audit operasional sangat berperan dalam menunjang efektivitas sistem pengendalian intern penjualan. Dimana keterkaitan adalah penjualan sebagai komponen harta perusahaan sangat memerlukan pengelolaan yang baik atau pengelolaan yang baik dapat tercipta dengan penerapan suatu pengendalian yang baik pula. Dan untuk mengukur efektivitas pengendalian intern ini, maka perusahaan perlu melaksanakan audit operasional yang mencakup semua aspek operasional pengelolaan penjualan. Kegiatan penjualan merupakan salah satu kegiatan utama yang dilakukan suatu organisasi atau perusahaan. Ketidak beresan dalam aktivitas penjualan akan berdampak langsung kepada kelangsungan hidup perusahaan. ”Penjualan (sales) adalah transfer hak atas barang untuk mendapatkan sumber daya lainnya, seperti kas atau janji untuk membayar piutang.” Hubungan antara Audit Operasional dengan Efektivitas Sistem Pengendalian Intern Penjualan dapat dilihat dari pernyataan Abdul Halim (2003;1998) mengenai beberapa konsep dasar dari pengendalian intern, yaitu : ”Sistem Pengendalian Intern diharapkan dapat mencapai tujuan Audit, baik audit keuangan, audit operasional maupun audit kepatuhan serta sistem pengendalian intern tidak dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang mutlak dimana sistem pengendalian intern pasti mempunyai kelemehan.” Berdasarkan uraian di atas maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut : ”Audit operasional mempunyai peranan dalam menunjang efektifitas sistem pengendalian intern penjualan.”

PEMBUATAN ALTERNATIF SISTEM ( GENERATING SYSTEM ALTERNATIF )

Pilihan stategi
Manajemen tingkat atas membuat pilihan strategi dengan memperhatikan semua
kendala.Adapun pilihan strategi yang biasa digunakan adalah sebagai berikut:

Distributed versus centralized processing
Saat ini, ada kecenderungan terjadi perubahan keputusan informasi dari
centralized data processing ke decentralized end-user responsibility centers.
Dalam lingkungan proses terdistribusi, end-user memutuskan peralatan,
implementasi dan prioritas pengembangan.
Di bagian lain terdapat pertumbuhan jumlah end-user yang masuk ke dunia
komputer. Mereka mencoba teknologi terbaru tanpa memperhatikan biaya, dan
resiko. Tanpa keahlian, perancang sistem akan berada dalam lingkungan
konservatif (kolot).

Integrated versus dispersed databases (sistem database
tersebar)
Ketika organisasi menggunakan sistem database tersebar, perancang sistem
mempunyai pilihan pertimbangan tentang file apa saja yang termasuk dalam
database dan data apa saja yang masuk dalam file. Integrated database
ditangani oleh administrator database yang memelihara semua kontrol data
storage, access dan modification. Manajemen tingkat atas memutuskan sesuai
dengan pilihan perancang sistem dengan memperhatikan sisi kemudahan
kontrolnya.

Surround strategy of system development
Strategi pengembangan sistem adalah penting karena banyak perusahaan
mempunyai tumpukan (backlog) dari sistem baru yang dirancang dan kondisi
sistem yang sedang dimodifikasi. Strategi ini mengijinkan perancang sistem
menggunakan perbedaan bahasa program dan menjalankannya pada komputer yang
berbeda untuk sebuah sistem kompatibilitas penuh (a totally compatible
system). Lingkungan sekitar strategi sangat penting dalam masalah
pengambilalihan perusahaan, dimana satu perusahaan mendapatkan perusahaan
lain dan mungkin sistem informasinya tidak kompatibel dengannya (berbeda).

Pilihan taktik
Manajemen memutuskan sekarang atau nanti, mengganti lawan modifikasi, dan
konfigurasi SDLC. Pemilihan ini dilakukan sebelum pilihan operasional.

Sekarang atau nanti
b Teknologi.
Sebuah terobosan teknologi adalah memerlukan pertimbangan untuk beberapa
tahun mendatang.
b Aliran kas.
Kondisi aliran kas perusahaan perlu untuk dipertimbangkan didalam
pengembangan atau penggantian sistem.
b Sumber daya keahlian.
Dalam melakukan pengembangan sistem perlu untuk memperhatikan tenaga-
tenaga ahli yang terlibat baik dalam perancangannya maupun dalam
pemakaiannya nanti.
b Politik.
Banyak sistem informasi saat ini diusulkan oleh seseorang dalam perusahaan.
Untuk satu atau lebih alasan, departemen sistem informasi boleh memilih
memperlambat pengembangan atau penggantian sistem.

Kecepatan lawan biaya
Alternatif sistem informasi pertama kali akan dibandingkan secara
kuantitatif penggunaan biaya. Karenanya perancang punya kesulitan
menyesuaikan kenaikan kecepatan dalam bentuk penghematan biaya.

Delapan pilihan tentang perancangan operasional
Pilihan perancangan dikelompokkan kedalam input, processing, dan output.
Masing-masing kelompok dapat memiliki pilihan sebagai berikut :

a. Input

1. On-line versus off-line data entry.
Off-line data entry tidak memiliki kemampuan yang baik untuk validasi
transaksi dengan segera. Oleh karena itu, on-line data entry
disarankan tetap digunakan dalam konfigurasi sistem informasi.
2. Keyed versus machine-readable data entry.
Machine-readable data entry dapat meningkatkan kecepatan, mengurangi
kesalahan pemasukan data, dan menghemat biaya untuk pekerja (save
human costs). Bagaimanapun juga membutuhkan investasi yang besar dalam
hal peralatan dan pemeliharaannya.
3. Centralized versus decentralized data entry.
Decentralized entry adalah lebih cepat tetapi tingkat kesalahannya
tinggi karena banyak pemakai yang memasukkan data. Machine-readable
entry membutuhkan pemasukan desentralisasi yang memberikan keuntungan
kecepatan proses dalam menangkap sumber data (point of sale).

b. Processing
4. Batch versus real-time record update.
Batch processing menyebabkan update rekord lama, cocok untuk
centralized data entry. Real time processing membutuhkan biaya
peralatan dan menaikkan kecepatan proses.
5. Sequential versus direct access to records.
Sequential access adalah berhubungan dengan batch processing.
Direct access berhubungan dengan real-time processing.
6. Single versus multiple-user update of records.
Sebuah desain sistem untuk multiple-user lebih komplek (rumit) dalam
keamanan akses dan mengupdate record secara simultan. Kekomplekkan
(kerumitan) terjadi saat kecepatan proses adalah penting dan
aplikasinya dengan proses -real time.

c. Ouput
7. Traditional versus turnaround documents.
Traditional document adalah dokumen yang cara pendataannya ke sistem
dilakukan melalui keyboard (key input). Turnaround documents adalah
pendataan ke sistem dilakukan melalui mesin pembaca dokumen
8. Structured versus inquiry-based reports.
Structured report dibuat dalam format yang baku dan disediakan secara
rutin, sedangkan inquiry-based reports dibuat berdasarkan permintaan
dengan format sesuai permintaan pemakai. Seringkalli inquiry-base
report ditemukan dalam lingkungan real-time dimana data harus diakses

Integrated Risk Management

Berikut ini ada realita mutakhir yang menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Ketika harga avtur naik, dua operator maskapai penerbangan segera mengurangi jumlah dan penerbangan tujuan Yogyakarta. Namun, ada maskapai penerbangan lain yang justru melakukan tindakan sebaliknya: akan menambah jumlah penerbangan ke dan dari Yogyakarta. Bagi dua operator pertama, kenaikan harga avtur ini ternyata ditangkap sebagai sebuah ancaman, sementara sebuah operator maskapai penerbangan lainnya menganggapnya sebagai peluang. Sebuah pelajaran yang berharga bahwa ternyata resiko, ketidakpastian, dan kerugian adalah tiga hal berbeda, sama sekali tidak bisa disamakan begitu saja.

Banyak yang salah kaprah, resiko bisnis dianggap sama dengan resiko finansial dan dianggap sama pula dengan kerugian. Padahal resiko finansial hanyalah salah satu komponen resiko bisnis, selain resiko proyek, resiko operasional, resiko pasar dan resiko yang berkaitan dengan regulasi.

Resiko pada hakekatnya adalah kejadian yang memiliki dampak negatif terhadap sasaran dan strategi perusahaan. Manajemen resiko terintegrasi merupakan suatu proses dimana berbagai resiko diidentifikasi, diukur dan dikendalikan di seluruh bagian organisasi. Kemungkinan terjadinya resiko dan akibatnya terhadap bisnis merupakan dua hal mendasar untuk diidentifikasi dan diukur. Melalui pengelolaan resiko terintegrasi, setiap keputusan strategik yang diambil selalu berdasarkan atas informasi yang valid dan reliable. Dengan demikian keputusan itu diharapkan mampu mengantisipasi secara efektif kejadian-kejadian di masa depan dan mengurangi ketidakpastian.

Ironisnya, acap pengelolaan resiko hanya terfokus pada resiko yang berhubungan dengan kegiatan operasional, yang kemudian dikonversikan ke dalam satuan uang (resiko finansial). Pendekatan ini tentu saja kurang lengkap, karena tidak mengcover keseluruhan resiko yang melekat pada bisnis yang digeluti. Memang, setiap industri memiliki penekanan sendiri-sendiri terhadap resiko yang akan dikendalikannya. Dalam manajemen resiko terintegrasi, resiko yang dominan dijadikan sebagai acuan utama. Sebagai misal, di industri keuangan dan perbankan, manajemen resiko lebih ditekankan pada aspek finansial tanpa mengabaikan aspek resiko lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana teknis pengelolaan resiko terintegrasi? Pada ghalibnya, proses bermula dari analisa secara akurat baik terhadap lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. Hasil analisa kemudian ditindaklanjuti dengan identifikasi dan klasifikasi secara jelas, spesifik, dan menyeluruh dari tiap resiko yang ada, baik dari aspek operasional, pasar, finansial, proyek, maupun regulasi. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah identifikasi melalui pertanyaan what, when, where, why, how berkaitan dengan kecenderungan dari munculnya resiko. Tentu saja proses ini tidak cukup dilakukan hanya sekali tembak saja. Semakin lengkap data yang dikumpulkan dalam proses identifikasi ini akan makin memudahkan dalam mencari solusi bagi pengendalian setiap resiko yang muncul.

Namun demikian identifikasi saja tidaklah cukup. Banyak perusahaan dapat melakukan identifikasi resiko dengan baik sehingga tahu benar resiko apa saja yang akan dihadapi dalam aktivitas bisnisnya, namun salah dalam melakukan antisipasi. Mengapa demikian? Tidak jarang ketidakmampuan dalam menentukan mau mulai dari mana penyelesaian masalah yang timbul menyebabkan keputusasaan. Oleh karena itu diperlukan adanya proses analisis dan evaluasi. Proses ini membantu memahami kemungkinan terjadinya resiko beserta dampak dari setiap resiko bila nantinya benar-benar terjadi, serta mengetahui apakah suatu resiko dapat diterima atau tidak.

Permasalahan yang sering muncul adalah dalam menentukan prioritas penanganan dan penentuan batas toleransi apabila resiko terebut tidak dapat dikelola seluruhnya. Batas toleransi ini akan menentukan seberapa jauh suatu resiko dapat diterima (acceptable). Di sini kebijakan manajemen dan pimpinan perusahaan memegang peranan penting dalam mengambil keputusan. Tentu saja tidak cukup hanya mengandalkan gut feeling semata karena terkait dengan pencapaian sasaran perusahaan. Dalam pengelolaan resiko bisnis, manajemen perusahaan dihadapkan pada beberapa pilihan: menghindari resiko, mengurangi resiko, atau mentransfer resiko yang diidentifikasi akan muncul.

Untuk jenis resiko yang kemungkinan terjadinya tinggi dan dampaknya besar, pilihan yang dapat diambil ialah menghindari resiko. Artinya manajemen perusahaan menetapkan bahwa perusahaan akan menghindari setiap aktivitas yang beresiko tinggi tersebut. Dilain pihak untuk jenis resiko yang kemungkinannya terjadinya rendah dan dampaknya kecil, manajemen dapat saja menerimanya dalam batas-batas toleransi yang telah ditetapkan. Untuk resiko yang kemungkinan timbulnya kecil namun dampaknya besar, biasanya perusahaan melakukan tranfer dari resiko yang dihadapinya ke pihak lain, misalnya dengan asuransi, namun perusahaan tetap bertanggung jawab untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Tentu saja kebijakan pengelolaan resiko harus didahului dengan analisa yang menyeluruh dengan mempertimbangkan berbagai aspek terutama berhubungan dengan cost & benefit yang akan didapat dan ditanggung perusahaan. Di sini fungsi dari perencanaan, pengawasan, dan kontrol terhadap kebijakan yang akan diambil terhadap suatu resiko akan sangat menentukan.
Sebenarnya apa saja yang menjadi faktor utama dalam penerapan manajemen resiko terintegrasi di suatu organisasi, terutama bila dikaitkan dengan kinerja perusahaan? Kepemimpinan tidak dapat dipungkiri berperan sebagai penggerak yang memberikan arah dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi. Dengan demikian komitmen dari pemimpin (leadership commitment) sangat menentukan dalam sukses tidaknya pengelolaan resiko. Selain itu dibutuhkan risk management culture yang kuat sebagai pengikat bagi seluruh anggota organisasi agar dapat menyatu, seiring sejalan mencapai tujuan. Dalam implementasinya, penerimaan dari anggota organisasi saja tidaklah cukup, lebih dari itu dibutuhkan keterlibatan mendalam (deep employee involvement) dari setiap anggota organisasi yang membuahkan rasa handarbeni. Selain itu integrasi antara perencanaan dan implementasi juga tidak kalah vitalnya.

Manajemen perubahan, komunikasi, dan pembelajaran berperan sebagai penopang pengelolaan resiko terintegrasi. Pemimpin organisasi harus menyadarkan arti krisis atau bahkan bilamana perlu menciptakan suatu situasi krisis sehubungan dengan pentingnya dilakukan implementasi manajemen resiko untuk dapat meningkatkan kinerja organisasi. Dalam tahap demi tahap perubahan dibutuhkan panduan yang baik agar tidak mengalami kemunduran (set back). Jelas, komunikasi tidak boleh putus, baik antar lini dalam organisasi maupun dalam satuan waktu. Patut diingat pula bahwa proses komunikasi dalam manajemen resiko dilakukan tidak hanya terbatas di dalam organisasi (inward), akan tetapi juga outward kepada partner dan stakeholder lain yang terkait.

Yang tidak kalah pentingnya dalam pengelolaan resiko terintegrasi adalah aspek pengendalian. Para pemimpin organisasi dituntut untuk menaruh perhatian serius dalam hal ini karena pengendalian seringkali menjadi titik terlemah dalam praktek pengelolaan resiko. Pengendalian yang berjalan dengan baik, ditunjang oleh pembelajaran membuat manajemen resiko terintegrasi sebagai proses dengan penyempurnaan yang terus menerus. Sebagai imbalannya adalah peningkatan kinerja organisasi secara signifikan.

MANAJEMEN RESIKO & NILAI PERUSAHAAN

Tercermin dari judulnya, dalam artikel ini kita akan mendiskusikan dua hal yang bisa disebut “buzzwords” utama dalam dunia keuangan perusahaan (corporate finance) dewasa ini, yaitu manajemen risiko (risk management) dan nilai perusahaan atau kemakmuran pemilik perusahaan (shareholder wealth). Kita akan membahas dua hal tersebut dengan terintegrasi.

Sebagaimana kita pahami dan sepakati, tujuan utama perusahaan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan dan memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan. Mungkin banyak orang akan mengajukan keberatan atas klaim perspektif keuangan ini. Ahli corporate strategy barangkali akan mengatakan bahwa tujuan perusahaan adalah membangun dan memperluas competitive advantage perusahaan. Orang marketing mungkin cenderung akan menekankan kepuasan konsumen sebagai tujuan utama bisnis. Selanjutnya, ahli operations akan mengemukakan kualitas dan inovasi produk serta proses bisnis sebagai tujuan perusahaan. Akhirnya, human resource executives barangkali akan mengklaim kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan sebagai tujuan bisnis. Baik, pembahasan mengenai hal ini memang membutuhkan analisis yang kompleks (tedious) dan luar biasa mengundang perdebatan, namun mari kita lihat secara sekilas namun obyektif. Dalam bisnis, pemisahan bidang-bidang manajemen dan perspektifnya seperti di atas merupakan hal yang tidak tepat, dalam artian itu menciptakan management silo. Jika kita amati dengan baik semua kemungkinan tujuan perusahaan di atas, pada akhirnya kita akan sampai pada kesimpulan begini: kepuasan konsumen yang tinggi, produk yang berkualitas kelas dunia, proses bisnis yang kreatif and inovatif, dan kepuasan yang tinggi dari karyawan sebagai strategic partners akan semakin meningkatkan competitive advantage perusahaan, yang kemudian secara konkret diterjemahkan dalam bentuk peningkatan penjualan, efisiensi biaya, dan peningkatan laba dan arus kas yang pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan. Dengan demikian, semua perspektif di atas sebenarnya tidak bertentangan satu sama lain, namun pada akhirnya mengarah pada satu tujuan utama perusahaan sebagai konsekuensi logis, yaitu maksimisasi kemakmuran pemilik perusahaan.

Setelah kita sepakat mengenai maksimisasi kemakmuran pemilik perusahaan sebagai tujuan utama bisnis, sekarang mari kita lihat kaitannya dengan topik bahasan kedua, yaitu manajemen risiko. Dalam beberapa tahun terakhir, manajemen risiko menjadi trend utama baik dalam perbincangan, praktik, pelatihan, maupun riset di bidang keuangan. Bahkan perbankan diharuskan memberi kesempatan pada para bankers-nya untuk menempuh pendidikan dan sertifikasi manajemen risiko menurut levelnya masing-masing. Hal ini secara konkret menunjukkan pentingnya manajemen risiko dalam bisnis pada masa ini.

Mengapa risiko harus dikelola? Jawabannya tidak sulit ditebak, yaitu karena risiko itu mengandung biaya yang tidak sedikit. Bayangkan suatu kejadian di mana sebuah perusahaan sepatu yang mengalami kebakaran salah satu pabriknya. Kerugian langsung dari peristiwa tersebut adalah kerugian finansial akibat aset yang terbakar (misalnya gedung, material, sepatu setengah jadi, dan sepatu yang siap dijual). Namun lihat juga kerugian tidak langsungnya, seperti tidak bisa beroperasinya perusahaan selama beberapa bulan sehingga menghentikan arus kas. Akibat lainnya barangkali adalah macetnya pembayaran utang kepada kreditor dan suppliers karena terhentinya arus kas tadi yang akhirnya akan menurunkan kredibilitas dan hubungan baik perusahaan dengan para business partners tersebut. Contoh lain mahalnya risiko, misalnya, adalah perusahaan baterai yang produknya dinyatakan berbahaya bagi masyarakat oleh badan teknologi. Dampaknya, perusahaan tersebut harus menarik kembali semua baterai yang telah dipasarkan, dan itu berarti biaya yang luar biasa besar. Kemudian ditambah lagi dengan kerugian tidak langsungnya sebagaimana contoh pertama di atas. Dua contoh di atas merupakan pure risks. Ada lagi risiko lain yang dikenal sebagai price risk. Misalnya, perusahaan raket tenis yang memerlukan material aluminium dalam memproduksi raket akan mengalami kenaikan biaya jika harga pasar aluminium mendadak naik. Perusahaan raket tersebut barangkali bagus dalam operasinya (produknya disukai pasar, inovasi produk dan proses, penjualan meningkat, manajemen biaya efisien) namun terpaksa menderita risiko akibat kenaikan harga pasar aluminium yang di luar kontrol perusahaan. Nah, di sinilah pentingnya manajemen risiko. Manajemen risiko yang efektif dapat meminimumkan biaya risiko. Konkretnya, risiko yang dikelola dengan baik, seperti dengan asuransi dan hedging kontrak derivatif, dapat menjaga agar kinerja perusahaan terhindar dari faktor-faktor non-operasi seperti kerugian akibat pure risk dan price risk tadi.

Kita telah mendiskusikan manfaat manajemen risiko. Sekarang kita kembali lagi ke maksimisasi kemakmuran pemilik. Secara prinsip, meningkatkan kemakmuran pemilik berarti meningkatkan nilai perusahaan tersebut. Metode yang diterima secara umum untuk menilai perusahaan adalah metode discounted cash flow. Mari kita gunakan model ini.



Model di atas pada dasarnya mengilustrasikan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh arus kas bersih yang diharapkan selama periode operasi yang didiskontokan pada tingkat return yang diharapkan. Jadi, dua faktor penentu adalah: (1) besarnya dan timing arus kas bersih yang diharapkan dan (2) tingkat return yang diharapkan (expected return) sebagai discount rate. Kita mulai pembahasan dari bagian penyebut (denominator), yaitu tingkat return yang diharapkan sebagai discount rate. Secara sederhana, tingkat return yang diharapkan terdiri dari dua komponen utama:

Tingkat return yang diharapkan = tingkat return bebas risiko + premium risiko

Tingkat return bebas risiko merupakan return yang diberikan oleh sekuritas yang risikonya hampir tidak ada, seperti Obligasi Republik Indonesia ataupun Surat Utang Negara. Tingkat return bebas risiko ini menunjukkan return yang diterima karena investor menanggung masalah time value of money, seperti inflasi yang membuat uang tahun depan lebih kecil daripada uang senilai pada saat ini. Dengan demikian, tingkat return bebas risiko ini belum mencakup masalah risiko yang sesungguhnya. Nah, pada premium risiko, hal ini diperhitungkan. Premium risiko merupakan permintaan investor akan tingkat return tambahan di atas return bebas risiko karena aset yang dimiliki investor tersebut lebih beresiko daripada sekuritas bebas risiko. Risiko tersebut bisa berupa pure risk, price risk, default risk, maturity risk, credit risk, dan lainnya. Semua risiko yang ada dapat diklasifikasi ke dalam dua kategori utama: (1) risiko sistematis dan (2) risiko spesifik. Risiko sistematis merupakan risiko yang dihadapi oleh semua pelaku ekonomi. Misalnya, tingkat inflasi, tingkat suka bunga, bencana alam, ketidakstabilan politik dan keamanan, dan lainnya yang bersifat makro. Risiko ini tidak dapat dihilangkan melalui diversifikasi portofolio. Sebaliknya, risiko spesifik merupakan risiko yang secara spesifik dihadapi oleh suatu aset. Misalkan seoarang investor memiliki saham pada PT Alpha yang memproduksi telepon seluler. Jika strategi pemasaran PT Alpha tidak tepat sehingga produknya tidak diterima pasar atau jika terjadi penyelundupan produk ke negara tertentu oleh oknum, itu adalah risiko spesifik. Kenapa disebut risiko spesifik? Karena risiko tersebut belum tentu atau besar kemungkinan tidak dialami oleh perusahaan lain; dengan kata lain, risiko tersebut secara spesifik hanya dihadapi oleh perusahaan tersebut. Risiko ini pada dasarnya dapat dihilangkan melalui diversifikasi aset. Contoh sederhana, investor yang memiliki PT Alpha tadi juga berinvestasi di PT Charlie yang memproduksi udang. Misalkan pada saat yang sama PT Charlie sukses besar dalam meningkatkan laba, kerugian PT Alpha tadi dapat ditutup oleh keuntungan PT Charlie karena risiko tiap perusahaan adalah spesifik dan independen.

Berdasarkan konsep investasi, risiko yang relevan dalam portofolio aset hanyalah risiko sistematis karena risiko spesifik pada dasarnya dapat dihilangkan melalui diversifikasi. Dengan demikian, investor yang investasinya telah terdiversifikasi dengan baik dalam portofolio hanya dapat mengharapkan tingkat return karena dia menanggung risiko sistematis, karena dengan melakukan diversifikasi dengan efektif, risiko spesifik aset-aset dalam portofolionya itu pada dasarnya telah tereliminasi.

Sekarang kita kembali sejenak ke pembahasan manajemen risiko. Dalam diskusi di atas, kita lihat bagaimana manajemen risiko yang efektif seperti asuransi dan hedging kontrak derivatif dapat mengatasi risiko yang dihadapi perusahaan. Namun demikian, jika kita amati baik-baik, risiko yang dapat dikelola dengan efektif kebanyakan adalah risiko spesifik. Kebakaran pabrik dan penarikan kembali produk yang berbahaya dari pasar yang merupakan kejadian spesifik perusahaan tersebut dapat diatasi dampak negatifnya dengan asuransi. Kejadian perusahaan raket yang mengalami kenaikan harga materialnya, aluminium, pun dapat diatasi dengan kontrak derivatif. Namun semua risiko tersebut merupakan risiko spesifik sedangkan dari diskusi di atas, kita menyadari bahwa investor yang asetnya telah terdiversifikasi dengan baik dalam portofolio hanya mendapat return karena menanggung risiko sistematis. Dengan kata lain, discount rate dari persamaan di atas berupa tingkat return yang diharapkan tidak mengandung risiko spesifik. Dengan demikian, manajemen risiko yang efektif pun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap discount rate dalam model penilaian bisnis di atas. Anda tentu bertanya, bagaimana dengan hedging kontrak derivatif yang melibatkan tingkat suku bunga ataupun asuransi terhadap bencana alam? Bukankah itu manajemen risiko terhadap risiko sistematis? Baik, coba kita analisis dengan cepat. Jika perusahaan melakukan transaksi dengan opsi, mereka perlu membayar premium opsi. Jika asuransi yang dipilih, premium juga harus dibayar. Kalaupun forward atau futures yang menjadi pilihan, ada biaya transaksi. Selain itu, semua alat di atas mengandung basis risk, yaitu kemungkinan bahwa hasil dari transaksi finansial, seperti asuransi dan hedging, tidak bisa meng-cover seluruh kerugian yang diderita dari sisi operasi akibat adanya risiko tersebut. Dengan demikian, meskipun dalam beberapa kasus manajemen risiko mampu meminimumkan atau bahkan mengeliminasi risiko sistematis yang dihadapi, sehingga mampu menurunkan discount rate dari persamaan di atas, hasil baik tersebut dibarengi dengan kenaikan biaya terkait yang berarti menurunkan arus bersih perusahaan. Intinya, penurunan discount rate yang merupakan kabar baik ternyata sangat mungkin ter-offset oleh penurunan arus kas bersih sehingga nilai perusahaan tidak berubah secara signifikan.

Lalu apa manfaat manajemen risiko bagi peningkatan kemakmuran pemilik perusahaan? Jika pengaruh manajemen risiko terhadap discount rate tidak signifikan, mari kita lihat manfaatnya untuk arus kas bersih. Paling tidak ada tiga manfaat manajemen risiko bagi arus kas bersih: (1) menjaga kestabilan arus kas, (2) mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami financial distress, dan (3) mengurangi kemungkinan perusahaan terpaksa mencari pendanaan baru untuk menutupi kerugian akibat risiko ataupun untuk mendanai investasi baru.

Manfaat yang pertama adalah menjaga kestabilan arus kas bersih. Kita ambil contoh kasus perusahaan raket di atas. Perusahaan akan mengalami peningkatan biaya dan oleh karenanya penurunan laba jika harga aluminium naik. Jadi, perusahaan harus mencari cara bagaimana melakukan transaksi finansial dengan hedging yang akan memberi keuntungan jika harga aluminium benar-benar naik. Dengan demikian, jika harga aluminium benar-benar naik, operasi akan mengalami kerugian karena biaya naik namun transaksi finansial akan memberi keuntungan yang diharapkan dapat menutupi kerugian operasi akibat kenaikan harga aluminium tersebut. Sebaliknya, jika ternyata harga aluminium malah menurun, sisi operasi akan mengalami keuntungan karena biaya menurun yang diyakini mampu menutupi kerugian dari transaksi finansial yang dilakukan.

Manajemen risiko yang efektif juga mengurangi kemungkinan financial distress, yaitu keadaan di mana perusahaan mengalami kesulitan yang serius untuk memenuhi kewajibannya, baik bunga maupun pokok pinjaman. Misalkan perusahaan sepatu di atas tidak melakukan asuransi terhadap potensi kebakaran pabrik, perusahaan harus membangun kembali pabrik beserta aset di dalamnya dengan dana yang diusahakannya sendiri. Apabila kas perusahaan ternyata tidak cukup untuk itu, perusahaan terpaksa harus meminjam dari lembaga keuangan seperti bank. Pinjaman yang bertambah meningkatkan potensi financial distress perusahaan. Oleh karena itu, manajemen risiko yang efektif dapat mengurangi kemungkinan ini.

Serupa dengan poin di atas mengenai financial distress, manajemen risiko juga mengurangi kemungkinan perusahaan harus menerbitkan surat berharga baru untuk menutupi kerugian tersebut ataupun untuk mendanai proyek investasi baru. Misalkan dari contoh di atas, perusahaan memutuskan untuk tidak menambah utang baru untuk membangun kembali gedung yang terbakar berserta asetnya, namun menerbitkan saham baru. Penerbitan saham baru ini tidaklah murah karena perusahaan harus mengeluarkan underwriting fees. Skenario lain yang mungkin muncul adalah pada saat yang sama, perusahaan sebenarnya memiliki sebuah proyek investasi yang sangat prospektif dan membutuhkan dana misalnya 2 triliun rupiah, yang kebetulan persis sebesar kerugian akibat kebakaran tersebut. Seandainya perusahaan tidak memiliki uang di atas jumlah itu, dana sebesar 2 triliun itu harus digunakan untuk membangun kembali pabrik dan asetnya, akibatnya proyek investasi baru itu harus didanai dari sumber lain seperti utang baru atau penerbitan saham baru.

Kesimpulannya adalah secara umum, meskipun tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap discount rate, manajemen risiko yang efektif dapat menjaga dan memperbaiki kondisi arus kas bersih perusahaan sehingga pada dasarnya nilai perusahaan dapat ditingkatkan dengan pengelolaan risiko yang efektif

MANAJEMEN STRATEGI

Di era globalisasi seperti sekarang ini persaingan bisnis semakin ketat, diperlukan manajemen – strategi yang jitu karna dengan manajemen – strategi yang baik akan bisa melihat peluang – peluang bisnis yang menjanjikan. Kesuksesan sebuah perusahaan dapat dicapai apabila perusahaan tersebut di bangun oleh System manajemen – strategi yang baik serta dikelola secara TRANSPARAN & SISTEMATIS dengan mengunakan manajemen – strategi yang akurat dan efektif untuk sebuah kesuksesan .
Beberapa macam manajemen – strategi yang terbukti jitu dalam strategi bisnis antara lain:

1. manajemen – strategi yang berorientasi pada product leadership (keunggulan produk). Perusahaan yang mengunakan manajemen – strategi ini selalu berupaya menciptakan produk-produk dengan kualitas premium, dan selalu one step ahead dibanding produk kompetitor. Mereka tak segan-segan mengeluarkan dana besar untuk bagian R & D-nya demi terciptanya produk yang berkualitas.

2. manajemen – strategi yang berorientasi pada operational excellence (keunggulan operasional). Dalam manajemen – strategi ini yang paling utama adalah membangun proses bisnis yang efektif & efisien. Sehingga dengan proses bisnis yang efektif & efisiensi ini, mereka mampu menekan biaya produksi, sehingga dengan manajemen – strategi ini mereka mampu menjual produknya dengan harga yang lebih kompetitif dibanding competitor – kompetitornya.

3. manajemen – strategi yang berorientasi pada customer intimacy (Keakraban / Keintiman dengan pelanggan). Yang paling utama dalam manajemen – strategi ini adalah membangun hubungan yang akrap/intim dengan semua pelanggannya sehingga akan membentuk mitra bisnis/ relasi yang langgeng dan berkelanjutan.
Kami SIEN Consultan perusahaan konsultan manajemen – strategi , bisnis strategi, konsultan strategi, konsultan bisnis strategi, Konsultan keuangan, Finance & Accounting Manajemen, konsultan pajak, marketing strategi, bisnis plan, pengembangan bisnis, konsultan bisnis, bisnis, peningkatan omzet, strategi, training motivasi, Strategy and Business, Strategy Management, Business Marketing Strategy, yang sudah TERBUKTI & berpengalaman lebih dari 12 tahun dalam menangani perusahaan lokal/Asing tanpa melihat besar kecil perusahaan.